KONSTRUK PEMILIH RASIONAL DALAM PILKADA

Oleh: M. Nurbadruddin

Kontestasi calon pemimpin untuk mendapatkan tampuk kepemimpinan kepala daerah yang akan dipilih oleh rakyatnya merupakan simpul demokrasi yang kukuh dan legitimasi kuat untuk menjalankan roda kepemimpinan atas kepercayaan mayoritas untuk membentuk kebijakan yang akan kembali kepada rakyat yang memilih, karena pimilihan secara langsung adalah pintu real dari suara, aspirasi dan mekanisme perwujudan prinsip demokrasi. Hal ini membuka akan adanya suatu kontrol atas keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah yang berkuasa, kebebasan dalam bersikap dan menyatakan pendapat maupun kebebasan dalam mendapatkan informasi hingga terbentuknya suatu sikap penilaian untuk menuju pada pemerintahan yang dianggap akan membaik jika dipimpin oleh sang pemimpin yang diharapkan.

Pengharapan itu hanya melelaui pemilihan kepada daerah secara langsung (pilkada) yang dalam waktu dekat ini akan dilaksanakan di daerah kita ini, propinsi jawa tengan akan dilaksanakan pada bulan juli, kota Pontianak akan melaksanakan pilkadanya pada bulan oktober mendatang dan daerah-daerah lainnya. Pintu kontestasi ini membuat para calon sibuk membentuk dan melakukan konsolidasi terus menerus hingga terbentuknya kekuatan dan massa sebagai elemen yang primer menuju tampuk kepemimpinan, baik tim sukses dan mesin politik atau partai sebagai penggerak massa yang dijadikan obyek dari semuanya tapi sadarilah makin terbukanya informasi hingga cepatnya serapan didapat oleh masyarakat dan tingginya tingkat pendidikan maupun besarnya kekecewaan masyarakat atas pemimpinnya membuat tingginya tingkat rasionalitas pemilih, dan makin tingginya tingkat tersebut membuat rendahnya tingkat partisipatif. Disinilah peran mesin politik dan tim pemenang kontestan pemilu harus bekerja keras untuk meningkatkan partisipasi pemilih dan sebagai kontrol dalam pelaksanaan pilkada yang dilakukan agar dari awal hingga akhir dalam pelaksanaan dapat dilaksanakan secara terbuka dan sejujur mungkin.

Terbentuknya rational choice ini sangatlah perlu dipertimbangkan oleh setiap elemen masyarakat, karena hal ini sudah terjadi di propinsi terbesar pada pilkad jawa barat yang hanya +/- 75 persen, 70 persen sumatra utara tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemilu yang dilaksanakan. Banyaknya masyarakat yang masih enggan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah pada hari h nya atau mendatangi tempat pemilihan suara (tps) untuk mencoblos adalah indikasi dari sudah mulai tinggi tingkat rational maupun keacuhan dan ketidak percayaan masyarakat terhadap para calon pemimpin mereka untuk masa mendatang. Dari hasil survei yang telah dilaksanakan oleh berbagai lembaga menyatakan polpularitas Aman (Agum Gumelar-Nu’man) di jawa barat di atas kedua lawannya untuk dua minggu sebelum pemilihan secara langsung, akan tetapi hal itu terbalik kanyataannya pada hari pelaksanaan yaitu dimenangi oleh A. Heryawan dan Dede Yusuf, itu serupa pada pelaksanaan gubernur kalbar yang telah dilalui, dari hasil survei yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga survei menyatakan Usman Ja’far (incombent) adalah paling populer dan paling memungkinkan mendapatkan elektibility pemilih kal-bar dan menjadi gubernur, akan tetapi itu tidak terjadi dan dimenangi oleh Chornelis dan Stevanus. Dari beberapa kejadian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya. Pertama, tidak adanya jaminan popularitas seseorang dapat menjanjikan elektibility yang didapatkannya walaupun figur juga merupakan pertimbangan yang sangat penting dalam menentukan sebagai calon yang akan diterima masyarakat, kedua, kekuatan mesin politik yang harus maksimal dalam mendapatkan basis yang dimilikinya maupun partisipan, ketiga, adanya kebersamaan kontrol dan saling membantu terhadap kinerja KPU setempat dalam memproses data pemilih tetap agar tidak adanya kesalahan yang tidak diharapkan pada pelaksanaan pemilihan, keempat, adanya edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat tentang pilkada yang dilaksanakan agar tingginya kesadaran akan pentingnya proses yang dilaksanakan, kelima, terkonstruknya pola politik praktis yang terjadi dimasyarakat dan juga kekecewaan terhadap ketidak adanya perbaikan yang diharapkan yang membuat stagnasinya kepercayaan kepada pemimpin masa depan dalam mebawa perubahan dalam berbagai bidang dan kebijakan membuat rendahnya tingkat partisipasi masyarakat akan pemilu pilkada yang dilaksanakan.

Terbuka dan cepatnya informasi yang didapatkan masyarakat dapat membentuk tingkatan rational choice untuk mempertimbangkan calon yang akan dipilih maka calon pemimpin haruslah dapat memberikan tauladan yang baik hingga membentuk image, karakter pemimpin, maupun kriteria yang paling diharapkan oleh masyarakat yang memilih sebagai pemimpin masa depan sebagai pembawa perubahan dan perbaikan pada masyarakat yang dipimpinnya. Ini merupakan brand image yang dibawa oleh mesin politik maupun sosialisasi calon kepala daerah yang di usung kepada masyarakat pemilih selain dari program maupun visi-misi yang dipaparkan, tetapi bukan jaminan pada pemilihan sang calon akan memenangkan kontestasi tersebut melainkan kesinambungan akan mesin politik yang kuat dalam bekerja dan calon yang di usung merupakan figur yang kredebelitasnya tidak diragukan dapat memimpin hingga terbentunya kepercayaan masyarakat terhadap calon kepala daerah yang dipercaya dan dipilihnya dapat memimpin pada masa mendatang.

Tinggalkan komentar