Kampanye dan Konsultan Politik

Oleh: M.Nurbadruddin

Bentuk industri baru bermunculan yaitu konsultan politik, suasana politik yang mulai memanas pada tahun 2009 ini menjadikan semua partai butuh akan sebuah konsultan kemenangan pada pemilu nanti, baik mulai dari strategi kampanye hingga bentuk pemetaan politik dan peluang kemenangan yang akan diraih. Seberapa besarkah kesempatan yang akan didapat oleh para kandidat jika menggunakan servis tersebut?.

Setiap kampanye politik setidaknya memerlukan konsultan maupun organisasi untuk menggerakkan sumber daya, dan staff maupun relawan untuk memilih calon. Konsultan politik harus membantu mengorganisir dan mengaktifkan panitia inti, yang terdiri dari pendukung dan pengumpul dana sukarela. Ia juga harus membimbing dan menasehati sang calon, menganalisa masalah-masalah, dan menyusun siasat. Inilah pekerjaan konsultan politik dalam memenangkan pemilihan baik mendesain dan memanajerial kampanye agar mendapatkan suara terbanyak, konsultan inilah yang biasa di gunakan oleh partai-partai politik sebagai konsultasi politik yang digunakan dalam memberikan advise dan strategi politik yang marak berkembang sekarang menjelang pemilu raya bulan april 2009 di negeri kita, walaupun tidak lepas dari badan pemenangan pemilihan umum (bapilu) yang dibentuk oleh masing-masing partai sebagai struktur kepanitiaan yang resmi dalam kepartian untuk memenangkan pemilu mendatang.

Lepas dari perpaduan konsultan dalam suatu kampanye, funsi-fungsi strategis dan taktik harus dijalankan. Dengan menurunnya peranan partai-partai, sebuah kampanye politik menjadi lebih menentukan terhadap hasil pemilihan. Organisasi ad hoc, yang dibentuk dengan tujuan jangka relatif pendek dan badan pemenangan pemilihan umum (bapilu) untuk membuat strategi pemenangan pemilu partai politik dalam merebut kursi anggota dewan maupun presiden, bekerja dalam suatu lingkungan politik yang bergolak. Kejadian di dalam dan luar negeri mempengaruhi pandangan dan sikap para pemberi suara atau pemilih, baik mobilitas, taraf pendapatan, pendidikan, adapun perubahan budaya maupun aturan pemilihan dan semuanya tersebut dapat mempengaruhi prilaku para pemilih. Bagaimana organisasi ad hoc atau konsultan yang menggandeng dalam memberikan kebijakan pemenangan pemilu ini dapat tetap mengatasi perubahan dan lain sebagainya?.

Berbagai strategi maupun komponen yang harus disiapkan oleh lembaga pemenang pemilu maupun konsultan politik dengan berbagai teori yang di gunakan akan sangat membantu dalam mengorganisir para pemilih. Sebagaimana yang dikatakan oleh Arnold Steinberg, berbagai macam cara dapat membantu dalam manajemen kampanye untuk mengorganisir pemilih, baik dengan adanya subsistem-subsistem; yaitu kampanye politik mempunyai subsistem-subsistem manajerial, struktural, teknis, dan psikososial, serta komponen-komponen lain, yang semua itu dihubungkan satu sama lain dalam kegiatan kampanye dan bersambung satu sama lain. Kemudian holisme, sinergisme, organisisme, dan gestalt; orang tidak dapat melihat sebagian kampanye politik, dan langsung memahami luas fungsinya. Apabila berjalan dengan sendirinya, hanya sedikit sekali yang bisa dilakukan untuk mendapatkan target penggalangan massa pemilih, dan atau tidak sama sekali dalam mencapai target. Sebagai bagian kampanye, tim ini membantu mendapatkan target yang telah direncanakan dalam meraup suara pemilih terbanyak untuk sang kandidat. Dan yang terakhir yaitu model input transformasi output; berdasarkan riset survei dan informasi yang diterima dari observasi pemetaan pemilih yang harus dilaksanakan, kampanye menghasilkan output (apa yang harus dikatakan oleh kandidat kepada konstituennya maupun para calon pemilih, bagaimana cara mengatakannya dengan lebih bijak, penjadwalan kampanye, periklanan, dan sebagainya). Strategi tersebut dapat diterapkan oleh berbagai lembaga konsultan terhadap partai yang menjadi klainnya agar membuahkan strategi dan manajemen kampanye yang efektif dan efesien dalam mencapai target dan memenangkan pemilihan umum.

Subtansial dari kampanye dan yang paling mencolok adalah untuk menjadikan sang kandidat terpilih. Terlepas dari cita-cita demokrasi yang luhur, kampanye bisanya di samakan dengan dengan sebuah organisasi pemasaran. Dalam pemasaran ada produk dan konsumen, untuk menterjemahkan hal tersebut dapat kita bayangkan produk kampanyenya adalah sang kandidat, baik dalam penampilan fisik, citra, kepandaian retorika berpidato, pendiriannya terhadap masalah-masalah bangsa dan negara, latar belakangnya, pengalamannya, pendidikannya, afiliasi kepartaiannya dan keluarganya. Dan dalam pemasaran yang akan menjadi target produk tersebut yaitu konsumen, ia akan menjadi objek dan target dari produk yang dijual yaitu konsumen, konsumen disini adalah pemilih (voters), ia akan mendukung kandidat atau salah seorang lawannya atau tidak mendukung siapapun juga “golput” dalam pemilihan tersebut. Dukungannya tersebut sebagaimana yang telah diformulasikan oleh Georg Simmel dalam teori mikrososiolegisnya pada sikap manusia akan terikat dengan lingkaran sosialnya dapat berkisar dari pemberian satu suara hingga mengajak sanak saudara, rekan dan teman-temannya untuk memberikan suara kepada sang kandidat, ia bahkan menawarkan diri untuk bekerja sukarela dalam kampanye, menyumbangkan dana, atau dan juga menerima kedudukan pimpinan.

Kampanye sebagai suatu sarana komunikasi antar kandidat dan calon pemilih memberikan sinergi yang seimbang antara need and hope, need yaitu harapan yang dibentuk dalam pola pikir pemilih dengan menilai apakah kinerja kandidat maupun partai yang menjalankan pemerintahan terakhir sudah baik bagi dirinya dan negara, dan hope ialah harapan yang ditanamkan pada kandidat maupun partai yang dipilihnya nanti akan membawa pada perubahan sesuai dengan keinginan pemilih, sikap inilah landasan sebagai pemilih rasional dan sejalan dengan penilaian V.O. Key. Dan kampanye merupakan landasan pemberi keputusan akan tambahan informasi yang didapatkan oleh pemilih untuk membentuk suatu pertimbangan pilihannya.

Strategi Kampanye

Dalam pendekatan kampanye banyak startegi yang dapat dilakukan oleh partai politik dan lembaga konsultan sebagai pendamping pemenangan pemilihan yang disebut dengan strategy campaign plans, sebagai strategi pemasaran dalam kampanye politik dapat mencakup:

  1. Menggunakan riset survei untuk memahami geografis politik, untuk mengetahui geografis sosiologis pendekatan pemilih dan mengukur peluang dan mengetahui kekuatan kandidat pihak lawan atau oposisi.
  2. Menyajikan dan mengemas kandidat dalam cara yang efektif kepada pemilih, sebagai simbol maupun ikon yang mudah diingat oleh pemilih.
  3. Menggunakan metodologi tradisonal, relawan, struktural hirarkis di setiap daerah, spanduk, stiker, brosur, sebagai penarik dan daya pikat pemilih untuk merealisasikan janji kampanye sebenarnya pada hari pemilihan.
  4. Menitik beratkan pada acara penjadwalan sang kandidat dan penampilannya melalui media, surat kabar dan periklanan maupun elektronik untuk menerobos pasaran. Agar informasi tentang kandidat dapat diserap berbagai daerah-daerah pilihannnya hingga se-nusantara.

Dan berbagai macam strategi yang bisa digunakan oleh partai-partai politik maupun individu sebagai kandidat untuk mendapatkan simpatik pemilih, baik dengan membawa idiologis partai sebagai pengikat pemilih tradisional dan program rasional untuk pemilih modern.

Pendanaan

Strategi pengumpulan dana kampanye ini dapat kita lihat sejarahnya di Amerika Serikat, pada pengumpulan dana Goldwater pada tahun 1964 yang mengawali era tersebut, dan jumlahnya dilampaui oleh Richard Nixon maupun Georg McGoven pada tahun 1972, startegi pengumpulan dana dengan jumlah kecil secara massal memberikan angin segar untuk berkampanye, dengan melalui himbauan dan kondisi politik ekonominya yang kondusif maupun menunjang sebagai stimulus kampanye.

Pendanaan pelaksanaan pemilihan umum maupun kampanye memang sangatlah besar, dari pelaksanaan pemilihan gubernur Jawa Timur yang menghabiskan biaya Rp.900M, berbanding terbalik dengan demokrasi yang berjalan di Amerika pada pemilihan gubernur California yang hanya menghabiskan biaya sekitar Rp. 20M, sungguhpun demokrasi yang telah berjalan di negeri kita ini merupakan demokrasi yang paling demokratis, karena pemimpin langsung dipilih oleh masyarakat bukan perwakilan elektoral yang ada di Amerika. Pengandaian tersebut akan sulit bagi kita pada pelaksanaan pemilu pada bulan april, pemilihan anggota legislatif dan pemilu pemilihan presiden. Berapa uang yang akan habis untuk menjalankan demokrasi di negara kita ini yang seharusnya semakin rasionalitas pemilih tidak perlu lagi membutuhkan uang dengan anggaran yang lebih besar, karena pemilih yang rasional akan dengan sendirinya memcari informasi dalam menentukan pemilihannya apakah akan menguntungkan pada dirinya maupun negaranya, hingga apapun janji maupun politik uang yang dilakukan oleh partai maupun kandidat akan sangat sedikit pengaruhnya, karena sudah mempunyai penilaian tersendiri dan memutuskan pilihan tersebut. Walaupun pengaruh tersebut tidak akan lepas pada pendidikan, psikologis, sosiodemografis dan sosiologisnya dari hasil analisa riset kuantitatif hingga dapat mengklasifikannya.

Kita akan tilik ada beberapa sumber yang bisa didapatkan oleh partai politik untuk membangun resources financial, agar pergerakan kekuatan kampanye yang kuat dan kokoh dapat dibangun oleh partai dan mencapai pada nilai yang besar jika diberdayakan secara maksimal. Berawal dari penyumbang ideologis kata Arnold Steinberg, jika dilihat pada negara kita ada dua ideologis yang sangat dominan kelihatan yaitu islamis dan nasionalis, jika dilihat pada perkembangan di barat ideologis nampak pada apakah kandidat sangat leberalis atau konservatif. Donatur atau penyandang dana ini akan melihat apakah kandidat yang akan didukungnya masuk dalam kategori ideologis partai islamis atau nasionalis, dan biasanya pendukung ideologis ini berpikir secara besar dan bukan secara sempit, semuanya mengandung kemungkinan “pengamanan negara”. Donatur yang konsen pada permasalahan, penyumbang ini tertarik pada suatu masalah, hingga ia bersedia mendukung seorang kandidat yang konsen terhadap permasalahan tersebut. Donatur kepartaian, penyumbang ini setia akan partai yang didukungnya, ia akan mendukung siapa pun yang dicalonkan oleh partai tersebut dikarenakan dia adalah kader partai itu. Donatur yang simpatik pada kandidat, karena sang kandidat adalah pusat perhatian untuk dipilih, maka kepribadian, gaya, karisma, pembawaannya, cara berbicara maupun retorikanya, dan gagasannya adalah unsur yang dapat memikat perhatian donatur ini. Donatur sosial, donatur ini mendukung karena secara sosial kampanye dapat diterima alasannya maupun isi dari isu yang dibawa pada saat berkampanye. Donatur yang pengejar akan kekuasaan, penyumbang ini biasanya menginginkan kedekatan dan keakraban kepada sang kandidat, ia menginginkan pengakuan dan menginginkan perasaan kekuasaan yang ditimbulkan oleh kekayaannya karena dia mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi tujuannya. Dan yang terakhir adalah trio masalah, yaitu donatur yang bukan ideologis maupun aktivis pergerakan melainkan posisi kandidat terhadap berbagai masalah yang menarik perhatiannya. Biasanya masalah tersebut dikaitkan dengan berbagai permasalah yang lain, hingga keterkaitan masalah tersebut membuat mudah untuk mengingat dan dapat membandingkannya dengan yang lain. Donatur ini lebih berorientasi pada permasalahan yang telah diselesaikan oleh kandidat dengan citranya yang baik dan karir politik yang bagus.

Dan banyak lagi resources financial yang bisa dikembangkan dari berbagai pergerakan kampanye yang dilaksanakan, seperti yang lakukan oleh presiden Amerika Serikat Barrack Obama, dengan membuka sumbangan berbagai kalangan pengguna internet hingga dapat mengumpulkan dana dari berbagai masyarakat negara-negara lain yang simpatik padanya, walupun hal ini merupakan hal yang belum pernah dilaksanakan oleh kalangan politisi di negara kita, akan tetapi patut dicoba jika memungkinkan.

Dari hal semuanya ini, akan tergantung sekali kepada sang kandidat yang diusung dan tim pemenangan pemilu yang telah dibentuk maupun konsultan pilitik yang digunakan oleh partai, untuk bekerja keras memenangkan kandidat partai politik yang di usung demi mencapai puncak jabatan yang di inginkan.

Quick Count Pilgub Kalimantan Timur Lembaga Survei Indonesia (LSI)

Pilkada putaran kedua pilkada gubernur Kalimantan Timur yang dilaksanakan pada hari rabu, tanggal 23 oktober 2008 telah menyisakan dua calon gubernur yang bersaing dalam merebutkan orang nomor satu di Kaltim sebagaimana berdasarkan UU No 12 Tahun 2008 pasal 107, pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dinyatakan pemenang dalam pilkada adalah pasangan yang mendapat suara lebih dari 50 persen dari suara sah Jika tidak ada pasangan yang mendapat suara lebih dari 50 persen, maka pasangan yang mendapat suara lebih dari 30 persen dinyatakan sebagai pemenang. Apabila tidak ada pasangan yang mendapat suara lebih dari 30 persen, maka akan diadakan putaran kedua, yang akan diikuti oleh pemenang pertama dan kedua, pasangan yang mengikuti putaran kedua tersebut Awang Faroek Ishak yang menggandeng Farid Wadjdi (AFI) yang sebelumnya mendapatkan perolehan suara 28,9 persen sedangkan Achmad Amin – Hadi Mulyadi (AHAD) yang mendapatkan perolehan suara 26,9 persen.

Dari hasil perhitungan cepat Lembaga Survei Indonesia menyatakan pemenang dalam pilkada Kaltim adalah Awang Faroek Ishak sebagai calon gubernur dan Farid Wadjdi sebagai wakil gubernur preode tahun 2008-2013, berikut hasil perhitungan cepat LSI dari 98.8% data yang masuk (494 tps dari total sampel 500 tps) *:

NO URUT

NAMA PASANGAN

HASIL QUICK COUNT

1

AWANG FAROEK ISHAK – FARID WADJDY

57,03%

3

ACHMAD AMINS – HADI MULYADI

42,97%

* Sisa 6 sampel TPS datanya tidak masuk karena masalah teknis di lapangan

Berikut hasil prediksi suara masing-masing pasangan di setiap wilayah:

Kabupaten

Jumlah TPS

AWANG

AMINS

Tingkat Partisipasi

BALIKPAPAN

62

53.75%

46.25%

53.21%

BERAU

26

48.23%

51.77%

51.04%

BONTANG

18

54.79%

45.21%

56.40%

BULUNGAN

22

59.77%

40.23%

53.19%

KUTAI BARAT

27

72.84%

27.16%

56.81%

KUTAI KERTANEGARA

94

61.58%

38.42%

58.89%

KUTAI TIMUR

32

73.03%

26.97%

56.31%

MALINAU

11

79.41%

20.59%

56.84%

NUNUKAN

21

46.44%

53.56%

56.92%

PASER

38

57.83%

42.17%

55.22%

PENAJAM PASER UTARA

17

50.84%

49.16%

52.45%

SAMARINDA

107

52.41%

47.59%

65.12%

TARAKAN

19

49.32%

50.68%

60.66%

Total

494

57.03%

42.97%

59.61%

Dan tingkat partisipasinya sekitar 59.61%, partisipasi ini merupakan tingkat partisipasi yang tidak begitu besar diantara pilgub yang telah dilaksanakan selama ini, ada beberapa faktor masyarakat yang antipatik dengan pemilihan ini merupakan pilihan yang rasional bagi mereka, pertama, karena tidak adanya trust atau kepercayaan kepada pemimpin hal ini dikarenakan mereka merasa pergantian pemimpin hanyalah sebagai sebuah ritual politik yang tidak menyentuh langsung kepada mereka, kedua, selain hal itu pandangan pragmatisme yang hanya memandang kepentingan sementara dan menguntungkan sebagian pihak, ketiga, kendala alam yang membuat mereka malas untuk mendatangi tps baik kondisi panas, hujan dan becek, membuat lemahnya keinginan untuk ikut berpartisipasi. Dan faktor ketiga inilah yang sangat dominan dalam menurunnya tingkat partisipasi, terjadinya hujan dari pagi hingga siang hari yang hampir merata di Kaltim membuat masyarakat enggan untuk mendatangi TPS hingga tingginya angka golput.

SURVEI DAN QUICK COUNT

PILKADA GUBERNUR SUMATERA SELATAN

Kontestasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumatera Selatan pada tanggal 4 September 2008 yang hanya diikuti dua kandidat Alex Nurdin-Eddy Yusuf (Aldy) dan Syahrial Oesman-Helmy Yahya (Sohe), merupakan perlawanan yang sangat ketat. Dari hasil survei yang telah dilaksanakan pada akhir bulan Juli memberikan gambaran Aldy berpengaruh dan unggul di enam daerah, sedangkan Sohe unggul di sembilan daerah, hasil survei untuk Aldy 43 persen Sohe 49 persen dan yang belum memberikan keputusan sebesar 8 persen dengan total 1020 responden masyarakat Sumatera Selatan dengan metode multistage random sampling. Temuan survei ini menggambarkan incumbent atau gubernur yang menjabat kemudian mundur dan mencalonkan kembali masih mempunyai pengaruh yang kuat untuk merebut kursi gubernur kembali jika pelaksanaan pilkada pada bulan Juli 2008, akan tetapi tidak ada yang menjamin pada bulan berikutnya hingga detik-detik terakhir incumbent menjadi pemenang, karena dalam sebulan, pergolakan dan gerakan antar kedua kubu untuk mendapatkan simpatik masyarakat sangat menjadi fokus mereka dan apapun bisa di lakukan.

Selain hal itu, terjadinya penurunan intres dan electibility pada incumbent yang awalnya mempunyai popularitas dan electibility lebih dari yang lainnya disebabkan kurang puasnya masyarakat terhadap pemerintahan sebelumnya dan menginginkan perubahan, seperti yang telah terjadi pada propinsi Kalbar, Jabar, dan hal yang biasa terjadi juga adalah incumbent menurun sedikit dan perolehan suaranya stagnan seperti terjadi di DKI, perolehan suara dari hasil survei Fauzi 56 persen Adang 20 persen dan yang belum memutuskan 23 persen, pada hari (h) Adang Darajatun memperoleh 43 persen, Adang medapat tambahan suara yang sangat signifikan dari massa yang simpatik adalah massa yang belum memutuskan atau massa mengambang 23 persen. Apakah hal ini akan terjadi di propinsi Sumatera Selatan?, bisa dilihat pada survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas yang merilis hasilnya Aldy 52 persen dan Sohe 49 persen, walaupun survei ini tidak bisa menjadi standar pegangan, karena responden hanya yang mempunyai telepon rumah, setidaknya istilah tentang “stagnan on descend incumbent” bisa terjadi di Sumsel dan terjadinya regulasi kepemimpinan pemerintahan. Akan tetapi, semuanya kembali kepada rakyat yang akan memilih pemimpinnya sendiri untuk lima tahun mendatang. Untuk lebih mengetahui hasil sementara dari pemilihan Gubernur Sumsel hari ini bisa di lihat dari hasil perhitungan cepat (quick count) Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Quick count dilaksanakan dengan memilih 400 TPS yang tersebar secara proporsional di setiap kabupaten/kota yang ada di Propinsi Sumatera Selatan. Sample TPS dipilih dengan menggunakan metode Kombinasi Stratified-Cluster Random Sampling.

KABUATEN/KOTA

TPS TERPILIH

BANYUASIN

40

EMPAT LAWANG

13

KOTA LUBUK LINGGAU

10

KOTA PAGAR ALAM

7

KOTA PALEMBANG

82

KOTA PRABUMULIH

8

LAHAT

20

MUARA ENIM

38

MUSI BANYUASIN

29

MUSI RAWAS

27

OGAN ILIR

21

OKI

37

OKU

17

OKU SELATAN

17

OKU TIMUR

34

TOTAL

400

Diperkirakan toleransi kesalahan (margin of error) pada quick count ini sekitar 1% pada tingkat kepecayaan 99%. Adanya efek cluster, perbedaan jumlah pemilih dari masing-masing TPS dan variasi angka partisipasi memungkinkan tingkat error menjadi lebih besar. Artinya perolehan suara kandidat dari hasil Quick Count ini bisa bergeser ke atas atau bergeser ke bawah sekitar 1-2%.

Grafik perkembangan perolehan suara per tps yang masuk

Berikut hasil akhir perhitungan cepat yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia berdasarkan 98.5% data yang berhasil diamati (394 TPS dari 400 TPS):

No. Urut

Nama Pasangan

Hasil Quick Count

1

ALEX NOERDIN – EDDY YUSUF

52.12 %

2

SYAHRIAL OESMAN – HELMI YAHYA

47.88%

Hasil perhitungan cepat di atas menunjukkan bahwa pasangan Alex Noerdin – Eddy Yusuf mendapat suara terbanyak, dan secara statistik unggul signifikan dari pasangan Syahrial Oesman – Helmi Yahya. Dengan demikian, diprediksi pasangan Alex Noerdin – Eddy Yusuf akan memenangkan Pilkada Propinsi Sumatera Selatan. Dari hasil Quick Count ini diperkirakan tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Propinsi Sumatera Selatan sekitar 73,49%.

Berikut adalah hasil lengkap prediksi suara masing-masing pasangan di setiap wilayah:

Kabupaten/Kota

TPS Terpilih

TPS Masuk

Masuk (%)

ALDY (%)

SOHE (%)

Partisipasi (%)

BANYUASIN

40

40

100%

49.61%

50.39%

75.22%

EMPAT LAWANG

13

13

100%

71.71%

28.29%

60.79%

KOTA LUBUK LINGGAU

10

10

100%

51.61%

48.39%

68.01%

KOTA PAGAR ALAM

7

7

100%

66.46%

33.54%

75.26%

KOTA PALEMBANG

82

82

100%

49.51%

50.49%

66.81%

KOTA PRABUMULIH

8

8

100%

35.67%

64.33%

70.48%

LAHAT

20

20

100%

52.97%

47.03%

72.64%

MUARA ENIM

38

38

100%

53.32%

46.68%

70.60%

MUSI BANYUASIN

29

29

100%

79.34%

20.66%

65.33%

MUSI RAWAS

27

26

96%

55.82%

44.18%

70.45%

OGAN ILIR

21

21

100%

44.69%

55.31%

71.05%

OKI

37

35

95%

53.28%

46.72%

80.88%

OKU

17

17

100%

45.87%

54.13%

74.98%

OKU SELATAN

17

17

100%

55.07%

44.93%

79.61%

OKU TIMUR

34

31

91%

33.82%

66.18%

82.83%

Total

400

394

98.50%

52.12%

47.88%

73.49%

Perhitungan cepat ini tidak jauh berbeda dengan hasil survei yang dilaksanakan pada akhir bulan Juli 2008, yang menandakan pemilih yang masih mengambang berjumlah 8 persen menentukan pelihannya kemaren kepada Alex Noerdin-Eddy Yusuf, penjumlahan tersebut dari 43% yang memilih Alex ditambah dengan pemilih yang masih mengambang sebesar 8% maka perkiranya 51%. Isu penguatan sistem jaminan sosial dalam bentuk sekolah dan pengobatan gratis yang dibangun oleh pasangan Aldy sangat mempengaruhi pemilih dan kampanye di media maupun mendatangi langsung ke masyarakat sangat signifikan menghasilkan kepercayaan kepadanya.

Keilmiahan metodologi ini menyatakan survei bisa menentukan potret masyarakat dan dapat memberikan gambaran yang sangat jelas pada titik tertentu dalam kebijakan yang diambil, dan perhitungan cepat atau quick count adalah prediksi tercepat dari hasil real survei.

M.Nurbadruddin,

Tim Peneliti Lembaga Survei Indonesia.

(Supervisor)

QUICK COUNT DAN DEMOKRASI

Oleh : M. Nurbadruddin*

Siapa yang menyangka perkembangan ilmu pengetahuan secepat ini, dan siapa yang menyangka hal yang dianggap akan menghabiskan waktu dapat disederhanakan, dengan mengumpulkan relawan sekitar 400 orang, bahkan bisa lebih atau kurang, akan tergantung dengan jumlah sample tempat pemugutan suara (TPS) yang diambil, akan bisa memprediksi hasil persentase pemilihan umum. Jawabannya adalah perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan sistem demokrasi, hal tersebut memberikan peluang yang sangat besar kepada sistem informasi, era demokrasi seperti ini membutuhkan keterbukaan informasi yang sangat luas agar memberikan peluang kepada setiap masyarakat untuk mengakses setiap event publik terutama pemilihan kepala daerah atau pilkada maupun pimilihan presiden, hingga dalam hitungan per menit dan jam, proses itu dapat diketahui secara detailnya.

Sejarah penghitungan cepat terdapat pertama kali pada pemilu di Philipina pada tahun 1986, yang dilakukan oleh National Movement for Free Elections (NAMFREL) dengan menggunakan parallel vote tabulation (PVT), yaitu dengan melakukan penghitungan dan pentabulasian secara parallel dari hasil penghitungan suara, pelaksanaan ini dilaksanakan secara komprehensif dan dapat dikatakan sebagai penghitungan tandingan yang dilakukan oleh institusi resmi pemilihan umum pemerintah Philipina. Sedangkan di Indonesia yaitu pada tahun 2004 pertama kali dilaksanakan quick count oleh LP3ES, sebagai lembaga independen yang melaksanakan perhitungan cepat dan hasilnya dapat memverifikasi hasil penghitungan manual KPU. Dan berbagai lembaga kemudian melaksanakan quick count seperti Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, PusKapol UI, Puskaptis, Litbang Kompas dan lain-lain. Yang hingga saat ini sering melaksanakan quick count di berbagai pemilihan umum kepala daerah baik gubernur, bupati dan walikota.

Kehawatiran akan terjadinya polemik disetiap penyelenggaan quick count tidak terbukti, pada tanggal 23 Juli 2008 kemaren, pelaksanaan pilgub Jawa Timur, dan hingga detik ini tidak terjadi adanya suatu protes atas penolakan hasil quick count yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga independent, malah pelaksanaan tersebut membantu KPUD dapat mempersiapkan lebih awal untuk pelaksanaan putaran kedua. Sikap kehawatiran terhadap quick count sebenarnya tidak beralasan dengan tegas, malah ini akan memperkungkung lembaga yang membantu atas verifikasi KPU, dan menghambat perkembangan demokrasi yang sedang berjalan di negeri kita ini. Dan dalam waktu yang dekat ini akan dilaksanakan pemilihan Propinsi Lampung pada tanggal tiga september dan Sulawesi Selatan pada keesokan harinya tanggal empat September, maka bisa dilihat siapakah yang bakal menjadi gubernur mendatang dan akankah ada putaran kedua seperti yang terjadi pada pilgub Jawa Timur.

Perhitungan cepat atau quick count, adalah sumbangsi besar terhadap demokrasi, pertama, partisipasi atas demokrasi, ini merupakan bentuk dari civic engagement yaitu keterlibatan masyarakat dalam kegiatan demokrasi, hingga memungkinkan tumbuhnya sikap terbuka, percaya dan toleran antar sesama, dengan mengadakan perhitungan cepat berarti membangun aspek partisipasi politik demokratis. Kedua, merupakan sumbangsi perkembangan teknologi atas demokrasi, yang membuat sesuatu mungkin dilakukan dengan automatis dan membuat perubahan dimensi politik dan sosial. Hingga Macpherson mengatakan: “the technological revolution could provide the means of realizing the democratic concept of the human essence”, teknologi akan menyingkat waktu dan tenaga hingga mempengaruhi sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri, maka, perhitungan cepat merupakan aplikasi dari perkembangan ilmu dan teknologi telekomunikasi yang memungkinkan orang memberikan informasi dengan cepat dan singkat. Ketiga, sikologi politik, timbulnya resistensi dan ketegangan akan nuansa politik yang menunggu hasil pemenang dalam pemilihan, situasi yang memanas karena disetiap calon mempunyai simpatisan fanatik yang rela melakukan tindakan yang diluar prediksi membuat situasi tak menentu karena emosi, sikap, pikiran yang terfokus pada situasi politik, dan ketidak menentuan maupun ketegangan itu akan redam ketika mengetahui prediksi versi hasil penghitungan cepat dari beberapa lembaga independen yang melaksankannya. Empat, Selain hal itu, dapat mengetahui seberapa besar partisi masyarakat terhadap pemilu dengan cepat pada hari itu juga, merupakan sumbangsi besar atas berjalannya demokrasi dengan pemilihan secara langsung pada kompetisi pemilihan kepala daerah maupun presiden. Dimensi partisipati memberikan penilaian berjalannya demokrasi yang telah dilaksanakan dengan berbagai sistem dianut, membuka peluang sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dangan aturan main dan penegakan hukum akan mematangkan sistem demokrasi yang di berjalan di negara ini.

Netralitas

Dengan memasuki dunia industrialisasi ini, membuat setiap lembaga survei melakukan persaingan dengan berbagai inovasi untuk menciptakan sistem dan motode yang lebih unggul maupun lebih akurat di setiap hasil perhitungan cepatnya. Karena inilah kunci dari kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pelaksana tersebut, eksistensi independen akan teruji di kalangan penilaian masyarakat pada setiap hasil yang di publikasikan oleh lembaga survei. Dan persaingan ini juga membuka peluang-peluang yang tidak sehat, jika lembaga pelaksana melakukan kepentingan yang memihak kepada calon maupun siapapun kliennya, hingga data yang seharusnya fakta lapangan dapat dirubah sesuai dengan kepentingan sang pemesan data. Maka, kenetralan lembaga yang melaksanakan perhitungan cepat harus di kontrol, agar hasil yang di publikasikan tidak bias kepada colon manapun, untuk menghindari terjadi kesalah pahaman persepsi atas interpretasi hasil yang di publikasi oleh lembaga yang melaksanakan perhitungan cepat.

Pada perkembangan yang akan datang dan seiring berkembangnya teknologi, akan membantuk perhitungan cepat tidak akan lagi dilaksanakan seperti sekarang, dan akan lebih cepat, bahkan perhitungan manual KPU secara komprehensif dapat diketahui dengan hitungan jam, jika penerapan teknologi sudah maksimal. Hal yang tidak bisa dilupakan adalah sumberdaya manusia yang siap akan penggunaan IT, Seperti yang telah ada di negara-negara maju, pemilihan sudah menggunakan mesin yang diketik langsung maupun dengan memencet tombol atau vote touch machine, setiap sentuhan pemilih dapat diketahui perolehan suara dan jumlah partisipasi masyarakat terhadap pemilihan umum secara langsung.

Potret dinamika masyarakat demokrasi yang sangat penting, bisa dilihat melalui perhitungan cepat yang seharusnya sebagai perwujudan pemilihan langsung kepala daerah maupun presiden sebagai indikator power of civic on government. Dan jika penghitungan cepat tidak diperbolehkan maka hal ini melukai semangat kontribusi maupun partisipasi berdemokrasi.

*Tim Peneliti Lembaga Survei Indonesia

PRESISI QUICK COUNT DAN PILKADA

Oleh : M.Nurbadruddin

Perkembangan teknologi komunikasi membuat segala menjadi lebih mudah, segalanya menjadi cepat, dan segalanya menjadi simple untuk mendapatkan informasi yang di inginkan, dan reformasi menjadi salah satu pintu terbukanya hal itu hingga hak untuk mendapatkan informasi semakin luas. Sistem yang diciptakan dalam penghitungan cepat dan menginformasikan hasilnya menjadi hal yang sangat dinanti-nanti oleh setiap masyarakat, siapa yang menjadi pemenang pada kontastasi demokrasi pada skala tertentu menjadi terasa lebih cepat dan legitimasi yang tertunda.

Quick count merupakan prediksi hasil pemilu berdasarkan fakta bukan berdasarkan opini. Oleh karena itu quick count bukanlah pendapat pemilih atas siapa yang pantas untuk dipilih dalam pemilihan sebagai pemimpin, akan tetapi data dan fakta yang ada dilapangan atau perolehan suara yang ada di tempat pemilihan suara (TPS) sebagai sample. Perhitungan cepat (quick count) menjadi marak ketika pemilihan presiden pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004, dan pada hari itu juga, dapat diketahui siapa yang bakal menjadi presiden republik Indonesia, dengan menggunakan sample yang telah didesain secara akurat yang dapat mengetahui dalam beberapa jam secara persentase pada prediksi versi quick count, hasil tersebut dapat diperbandingkan dengan hasil perhitungan manual dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan seberapa akurat perhitungan cepat tersebut. Dengan menggunakan berbagai pendekatan metode dan berapa persen margin of error dengan hasil sebenarnya, yaitu berapa selisih dari penghitungan manual yang dilaksanakan oleh KPU yang menandakan betapa ilmiah motode yang di design untuk perhitungan cepat tersebut dan dapat dipertanggung jawabkan, hingga maraknya perhitungan cepat dilaksanakan setiap pelaksanaan pemilihan gubernur hampir di setiap propinsi maupun bupati dan walikota.

Selain sebagai penghitungan cepat, quick count juga mempunyai fungsi yang tidak kalah penting di pertimbangkan, sebagai pengontrol dari penghitungan yang dilaksanakan oleh KPU itu sendiri, media kontrol ini, yang dimiliki oleh quick count atas kinerja jika terjadi suatu kecurangan dalam penghitungan manual, jika terjadi jauhnya persentase versi quick count dengan KPU maka ada kemungkinan terjadinya suatu kesalahan, baik secara metodolegis maupun perhitungan manual yang dilaksanakan oleh KPU. Metodologi statistik dalam quick count harus akurat apabila penarikan samplenya sesuai dengan sebaran populasi, hingga pelaksanaan dilapangan berdasarkan hitungan dan penarikan sample menjadi identifikasi yang akurat, dan dapat dijadikan sandaran sebagai perbandingan perhitungan manual.

Dapat dilihat dari hasil quic count DKI Jakarta, dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir hasil quick count nya Foke-Prijanto 56 persen suara dan Adang-Dani 44 persen suara, Lingkaran Survei Indonesia (PT.LSI) melansir hasilnya Foke-Prijanto 58,59 persen dan Adang-Dani 41,41 persen perolehan suara, hasil perhitungan manual yang dilakukan oleh KPU Foke-Prijanto sebesar 58 persen dan Adang-Dani 42 persen, ini menandakan keakuratan penghitungan cepat dapat diartikan sebagai prediksi yang tertunda dalam penetapan perhitungan manual pada hasil pilkada. Propinsi Jawa Tengah, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir hasil quick countnya Bambang –Adnan 22,98 persen, Agus-Kholik 7,31 persen, Sukawi-Sudharto 15,33 persen, Bibit-Rutri 42,40 persen dan Tamzil-Rozak 11,97 persen, sedangkan Lingkaran Survei Indonesia melansir hasil quick countnya Bambang –Adnan 22,46 persen, Agus-Kholik 6,11 persen, Sukawi-Sudharto 15,80 persen, Bibit-Rutri 44,42 persen dan Tamzil-Rozak 11,20 persen. Dan perhitungan cepat di propinsi Bali Lingkarang Survei Indonesia (PT.LSI) melansir hasilnya I Gede W- I Gusti B 18,51 persen Tjokorda-Nyoman Gede 25,09 persen dan Mangku Pastika-A Ngurah P 56,40 persen, sedangkan Lembaga Survei Indonesia melansir hasil quick countnya I Gede W- I Gusti B 19,01 persen, Tjokorda-Nyoman Gede 25,05 persen dan Mangku Pastika-A Ngurah P 54,94 persen, hasil resmi yang telah di lansir oleh KPUD, I Gede W- I Gusti B 18,25 persen, Tjokorda-Nyoman Gede 26,71 persen dan Mangku Pastika-A Ngurah P 55,4 persen, perbedaan hanya beberapa persen diantara lembaga dan selisih dari penghitungan manual oleh KPUD pun tidak jauh berbeda, selisih yang hanya 1% dapat ditoleran berdasarkan metode yang digunakan.

Dapat dilihat dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang baru saja dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2008 minggu kemaren, adalah pimilihan gubernur Jawa Timur yang gagal melahirkan gubernur baru. Berdasarkan hasil quick count dari beberapa lembaga survei yang telah melakukan quick count, tidak satupun calon gubernur meraih diatas 30 persen suara, ini menandakan putaran kedua bakal terjadi. Dari hasil quick count Lembaga Survei Indonesia (LSI), perolehan suara calon Ka-Ji 25,34 persen, KarSa 26,92 persen, dari hasil Lingkaran Survei Indonesia (PT.LSI), perolehan suara Ka-Ji 24,83 persen, KarSa 26,56 persen. Lembaga Survei Nasional (LSN), KaJi 25,65 persen, KarSa 29,76 persen. Pusat Kajian Pembangunan Strategis (Puskaptis) KaJi 26,16 persen dan KarSa 31,34 persen. Hanya satu lembaga dari hasil quick count yang dilaksanakannya yang menyakini, bahwanya pelaksanaan pilkada Jawa timur berlangsung hanya satu putaran, sedangkan tiga lembaga lainnya melansir hasil quick countnya menyatakan akan ada putaran kedua. Perbedaan ini memberikan penilaian akan akurasi dari perhitungan cepat yang telah dilaksanakan oelh berbagai lembaga tersebut.

Dari beberapa pelaksanaan perhitungan cepat, kenyataan ini menandakan betapa ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan hasil quick count yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga survei, quick count dapat di verifikasi hasil resmi KPU, dan dapat mendeteksi kecenderungan akan kesalahan perhitungan dan indikasi kecurangan yang terjadi, karena quick count merupakan pengambilan data lapangan berdasarkan sample atas populasi pemilih. Dengan berbagai macam metodologi yang dipakai, baik dengan menggunakan multy state random sampling, stratified cluster random sampling maupun dengan stratified random sampling, metode ini sangat ilmiah yang telah diperhitungkan dengan ilmu statistik hingga dapat menghasilkan prediksi yang sangat akurat hingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

MEMILIH DAN TIDAK MEMILIH

Oleh : M. Nurbadruddin

Memilih dan tidak memilih adalah sebuah keinginan akan suatu perubahan, pelaksanaan pilkada di setiap daerah merupakan aplikasi dari suatu langkah untuk menuju hal tersebut, tetapi bukan berarti perubahan semuanya tergantung akan memilih dan tidaknya. Sudah lebih dari 50 daerah yang melangsungkan pemilihan pemimpin daerah mereka secara “one man one vote” dan pertama kalinya dalam pemilihan presiden dan wakilnya, walau ini adalah sebuah kemajuan dalam sistem demokrasi yang dilaksanakan di negara kita, akan tetapi tidak dibarengi dengan kemajuan pendidikan masyarakat secara keseluruhan, baik pendidikan politik bagi politisi hingga pendidikan akan pluralitas politik, budaya dan agama untuk masyarakat yang hanya sebagai objek penderita dari politisi tersebut. Lebih dari 10 persen (Lembaga Survei Indonesia), masyarakat menyatakan tidak merasakan kepuasan akan hasil pemilihan wakil daerah mereka, di karenakan tidak memperjuangkan kesejahteraan masyarakat yang diwakilinya melainkan hanya memperjuangkan kepentingan golongan yang diwakilinya. Selain hal tersebut kekisruhan juga masih menjadi sebuah budaya kekerasan yang masih sulit di hilangkan pada kontestasi pemilihan pemimpin daerah, seperti yang terjadi di Sulawesi dan lain sebagainya, hal ini sebagai pertanda masih minimnya keterbukaan akan pemahaman khususnya pada pimilihan secara terbuka dan pemilihan wakil daerah.

Apakah hal ini akan terjadi pada ibu kota Jakarta?!, yang akan melaksanakan pilkadanya pada bulan agustus mendatang dengan perkiraan sebesar 7,8 juta jiwa yang mempunyai hak pilih, dan apakah tingkat pemilih akan lebih besar dari daerah-daerah sebelumnya yang telah melaksanakan pilkada?, dan apakah dengan tingginya tingkat pendidikan masyarakat Jakarta membuat pemilih yang rasional dan partisipatif!, pertanyaan tersebut membuat Jakarta sebagai titik keberhasilan sebagai daerah sentral pemerintahan menjadi tolak ukur yang sangat vital dalam menilai keberhasilan pemerintahan kita. Pusat pemerintahan, pusat politik, pusat ekonomi dan hukum adalah titel yang dibebani oleh Jakarta, hingga pemimpin yang terpilih haruslah memiliki leadership yang kuat dan manajerial yang hebat dan mempunyai tanggung jawab yang teguh. Hingga, adanya harapan yang tinggi pada kepala daerah bukanlah hal yang mustahil terjadi di ibu kota Jakarta pada saat ini dalam menghadapi sikap yang apatis terhadap akan adanya perubahan, walaupun pada saat ini sifat leadership dan moral yang di miliki oleh pemimpin adalah harapan yang sangat di inginkan oleh pemilih yang rasional, karena dipundaknyalah akan terbentuk suatu perubahan demi kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya.

Pembentukan sikap pemilih rasional merupakan salah satu faktor yang menentukan kedua pilihan tersebut, dengan melihat tingkat pengangguran yang membesar di ibu kota, dimana setiap adanya pembukaan lapangan pekerjaan beribu-ribu para calon pekerja melamar demi mendapatkan pekerjaan dan menghilangkan status pengangguran dan ada pula yang hanya ingin meningkatkan status dari sebelumnya, terbukti sebesar 16.5% dari hasil survey LSI, masyarakat menyatakan masalah yang paling penting untuk di tuntaskan pada saat ini oleh pemerintahan ibu kota Jakarta, dan 91% masyarakat Jakarta menilai buruknya kinerja pemerintahan dalam menanggulangi pengannguran yang ada. Selain hal tersebut, kemacetan dan buruknya transportasi dan fasilitas umum bagi masyarakat Jakarta, hal ini mendapat respon sebesar 12.9% sebagai masalah yang harus dituntaskan oleh pemerintahan ibu kota Jakarta (LSI), banjir yang terjadi setiap curah hujan yang besar dan banjir musiman setiap lima tahun sekali yang membuat khawatir masyarakat, birokrasi yang berbelit-belit, perbaikan hal tersebut menjadi suatu keyakinan pemilih rasional dalam mempertimbangkan pilihannya, bukan hanya sekedar isu dan janji belaka oleh sang calon pemimpin.

Diantara indikator sikap rasional oleh pemilih yaitu tingkat pendidikan, akses informasi dan tidak terkait dengan ideologi politik. Dibandingkan dengan faktor yang lainnya, pendidikan, merupakan alat prediksi terkuat dari keterlibatan politik hingga memutuskan pilihannya dari budaya masyarakat partisipan, masyarakat yang terdidik lebih cenderung bisa menilai apakah institusi politik yang didukung olehnya sudah bekerja dengan baik atau tidak, dapat mengefaluasi dan kritis terhadap kinerja institusi politik dan memiliki harapan yang lebih besar terhadap perubahan, tidak hanya masyarakat yang harus mengerti akan demokrasi, tetapi elit politik juga harus merasakan pendidikan demokrasi, karena hal ini menyangkut persoalan transformasi budaya dan mentalitas yang “salah” menuju yang baik dalam kesadaran elit berkuasa, dengan demikian elit yang berkuasa akan merasa bahwa kekuasaan sebagai amanah yang harus dijalankan dengan kesungguhan hati, sehingga kekuasaan tidak menyimpang atau salah mengartikannya. Akses informasi, mendapatkan informasi sebagai data dari penilaian adalah tingkat analisa kepercayaan pada institusi politik, semakin banyak informasi yang didapatkan semakin objektif penilaian yang ditampilkan dan kepercayaan akan institusi politik sebagai agen perubahan semakin kuat dan merefleksikan sikap aktif politik, selain hal itu, kampanye juga dijadikan ajang media sosialisasi, bukan berarti kampanye yang disampaikan oleh partai politik akan mengubah pilihan seseorang akan tetapi kampanye hanyalah sebuah media informasi dan sosialisasi, dan hal itu merupakan proses dalam penentuan untuk memilih. Tidak terkait dengan ideologi politik tertentu, keterkaitannya bukan dikarenakan ideologi yang sama atau hanya sebagai pengikut, melainkan sebagai independensi partisipan, keterkaitan membuat terkungkungnya sikap pemilih rasional yang bisa menilai setiap institusi politik dari berbagai bidang pendekatan nilai-nilai yang telah dibangun oleh institusi-institusi politik sebagai lokomotif of change, bergabungnya sang pemilih di institusi politik tertentu adalah sebagai pilihan yang menjadikan mereka terlibat secara politik aktif dan memiliki afikasi politik dan akan memperjuangkan afikasi politiknya, semakin kuat posisinya secara politik akan semakin dalam kepercayaannnya pada institusi politik, akan tetapi sikap tersebut membatasi sikap rasional dan objektifitas yang dimiliki. Dan penilaian yang paling objektif dari kesemuanya itu tidak hanya bisa di jelaskan secara pendidikan maupun sosial, akan tetapi bisa lebih di jelaskan dengan kinerja dari institusi-institusi politik tersebut secara berkala.

Kahadiran golongan tidak memilih (golput) bukan berarti tidak memilih diantara calon yang disodorkan oleh penyelenggara pemilihan, akan tetapi dua indikator penyebanya, yaitu merupakan sebuah pilihan, dan ketidak ikut sertaan dalam pendataan sebagai pemilih dan bukan karena merupakan sebuah pilihan. Sebagai pilihan, setiap individu berhak untuk memilih dan berekpresi politik, dia berharga sebagai instrumen kritis terhadap sistem politik yang dicerminkan dengan penolakan sistem demokrasi, penyebabnya merupakan lahirnya rasa kecewa dan marah terhadap terhadap sistem yang ada tanpa dibarengi suatu perubahan, kontribusi perbaikan dan sangat kecilnya tingkat optimisme masyarakat akan hasil pilkada, ini juga terbukti dari hasil survey LSI sebesar diatas 40% masyarakat Jakarta menilai pemda DKI buruk dalam menjalankan kinerjanya, dan yang kedua, ketidak ikutsertaan pemilih karena hal-hal teknis hingga tidak bisa menyalurkan aspirasinya, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, kesehatan, force mejure dan lain sebagainya. Akankah ini terjadi pada pilkada Gubernur Jakarta?, dengan hanya meninggalkan dua calon yang akan berkompetisi pada pemilihan, yaitu Fauzi Bowo bersama Prijanto dan Adang Darojatun bersama Dani Anwar, calon Fauzi Bowo yang banyak mendapat dukungan lebih dari 15 partai politik melawan Adang Darojatun yang hanya didukung oleh satu partai yaitu Partai Keadilan Sejahtera berharap pertempuran mendapatkan pendukung dan memenangkan pemilihan kursi gubernur Jakarta secara fair dan adil, dan pihak Fauzi juga mengharapkan para partai-partai yang telah mendukung, parpol solid dan konsisten dalam mendukung pada saat pemilihan nanti dan tidak hanya konstituen partai-partai saja yang mendukung akan tetapi massa yang dimiliki oleh partai tersebut.

Walaupun tingginya tingkat keinginan warga Jakarta atas keikut sertaan untuk memilih gubernur pada bulan agustus mendatang, yaitu sebesar 91% (LSI), nilai sebesar itu membuat hal biasa jika di ukur secara general sebagai tingkat keinginan dan pengharapan atas sebuah keterlibatan atau partisipasi untuk sebuah demokrasi, akan tetapi hal itu malah dihawatirkan menjadi sebuah ritualitas pemilihan belaka, bukan berarti sebuah analisa pemilih untuk perbaikan pada masa mendatang. Karakteristik yang telah disebutkan diatas sebagai pemilih rasional jika di implementasikan sangatlah besar pengaruhnya pada setiap pemilihan, bukan hanya dijadikan ajang pesta demokrasi belaka akan tetapi, pematangan akan makna demokrasi yang membuat sistem menjadi lebih kuat dan semakin tingginya tingkat pemahaman nilai-nilai fluralisme, pertimbangan moral, pemufakatan yang sehat dan jujur, dari sistem demokrasi sebagai pandangan hidup bermasyarakat.

Dengan berjalan dan mulai belajarnya masyarakat akan mekanisme pemilihan secara langsung untuk gubernur Jakarta, keberhasilan ini tidak luput atas pengaruh partai sebagai mesin politik yang paling ampuh untuk mempengaruhi masyarakat pemilih untuk memilih calon yang di usung oleh partai-partai tersebut, dengan mengusung prioritas program yang di janjikan, baik melalui media kampanye maupun diskusi-diskusi politik, dan rasionalisasi pemilih akan terbentuk jika adanya kolaborasi antara sikap kritis dan optimalisasi mesin politik dalam membangun isu rasional maupun program unggulan demi kesejahteraan masyarakat. Proses ini diharapkan membuka mata masyarakat bahwasanya partisipasi mereka sangatlah berarti dalam keputusan dan kebijakan, karena, pertimbangan fakta sebagai landasan analisis objektif pembuat kebijakan merupakan faktor yang seharusnya menjadi dominasi kebijakan, dan pengesahan atas permasalahan tersebut dapat dicapai melalui langkah-langkah politik sebagai jalan menuju kekuasaan yang berwenang untuk memutuskan persoalan tersebut.

KONSTRUK PEMILIH RASIONAL DALAM PILKADA

Oleh: M. Nurbadruddin

Kontestasi calon pemimpin untuk mendapatkan tampuk kepemimpinan kepala daerah yang akan dipilih oleh rakyatnya merupakan simpul demokrasi yang kukuh dan legitimasi kuat untuk menjalankan roda kepemimpinan atas kepercayaan mayoritas untuk membentuk kebijakan yang akan kembali kepada rakyat yang memilih, karena pimilihan secara langsung adalah pintu real dari suara, aspirasi dan mekanisme perwujudan prinsip demokrasi. Hal ini membuka akan adanya suatu kontrol atas keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah yang berkuasa, kebebasan dalam bersikap dan menyatakan pendapat maupun kebebasan dalam mendapatkan informasi hingga terbentuknya suatu sikap penilaian untuk menuju pada pemerintahan yang dianggap akan membaik jika dipimpin oleh sang pemimpin yang diharapkan.

Pengharapan itu hanya melelaui pemilihan kepada daerah secara langsung (pilkada) yang dalam waktu dekat ini akan dilaksanakan di daerah kita ini, propinsi jawa tengan akan dilaksanakan pada bulan juli, kota Pontianak akan melaksanakan pilkadanya pada bulan oktober mendatang dan daerah-daerah lainnya. Pintu kontestasi ini membuat para calon sibuk membentuk dan melakukan konsolidasi terus menerus hingga terbentuknya kekuatan dan massa sebagai elemen yang primer menuju tampuk kepemimpinan, baik tim sukses dan mesin politik atau partai sebagai penggerak massa yang dijadikan obyek dari semuanya tapi sadarilah makin terbukanya informasi hingga cepatnya serapan didapat oleh masyarakat dan tingginya tingkat pendidikan maupun besarnya kekecewaan masyarakat atas pemimpinnya membuat tingginya tingkat rasionalitas pemilih, dan makin tingginya tingkat tersebut membuat rendahnya tingkat partisipatif. Disinilah peran mesin politik dan tim pemenang kontestan pemilu harus bekerja keras untuk meningkatkan partisipasi pemilih dan sebagai kontrol dalam pelaksanaan pilkada yang dilakukan agar dari awal hingga akhir dalam pelaksanaan dapat dilaksanakan secara terbuka dan sejujur mungkin.

Terbentuknya rational choice ini sangatlah perlu dipertimbangkan oleh setiap elemen masyarakat, karena hal ini sudah terjadi di propinsi terbesar pada pilkad jawa barat yang hanya +/- 75 persen, 70 persen sumatra utara tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemilu yang dilaksanakan. Banyaknya masyarakat yang masih enggan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah pada hari h nya atau mendatangi tempat pemilihan suara (tps) untuk mencoblos adalah indikasi dari sudah mulai tinggi tingkat rational maupun keacuhan dan ketidak percayaan masyarakat terhadap para calon pemimpin mereka untuk masa mendatang. Dari hasil survei yang telah dilaksanakan oleh berbagai lembaga menyatakan polpularitas Aman (Agum Gumelar-Nu’man) di jawa barat di atas kedua lawannya untuk dua minggu sebelum pemilihan secara langsung, akan tetapi hal itu terbalik kanyataannya pada hari pelaksanaan yaitu dimenangi oleh A. Heryawan dan Dede Yusuf, itu serupa pada pelaksanaan gubernur kalbar yang telah dilalui, dari hasil survei yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga survei menyatakan Usman Ja’far (incombent) adalah paling populer dan paling memungkinkan mendapatkan elektibility pemilih kal-bar dan menjadi gubernur, akan tetapi itu tidak terjadi dan dimenangi oleh Chornelis dan Stevanus. Dari beberapa kejadian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya. Pertama, tidak adanya jaminan popularitas seseorang dapat menjanjikan elektibility yang didapatkannya walaupun figur juga merupakan pertimbangan yang sangat penting dalam menentukan sebagai calon yang akan diterima masyarakat, kedua, kekuatan mesin politik yang harus maksimal dalam mendapatkan basis yang dimilikinya maupun partisipan, ketiga, adanya kebersamaan kontrol dan saling membantu terhadap kinerja KPU setempat dalam memproses data pemilih tetap agar tidak adanya kesalahan yang tidak diharapkan pada pelaksanaan pemilihan, keempat, adanya edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat tentang pilkada yang dilaksanakan agar tingginya kesadaran akan pentingnya proses yang dilaksanakan, kelima, terkonstruknya pola politik praktis yang terjadi dimasyarakat dan juga kekecewaan terhadap ketidak adanya perbaikan yang diharapkan yang membuat stagnasinya kepercayaan kepada pemimpin masa depan dalam mebawa perubahan dalam berbagai bidang dan kebijakan membuat rendahnya tingkat partisipasi masyarakat akan pemilu pilkada yang dilaksanakan.

Terbuka dan cepatnya informasi yang didapatkan masyarakat dapat membentuk tingkatan rational choice untuk mempertimbangkan calon yang akan dipilih maka calon pemimpin haruslah dapat memberikan tauladan yang baik hingga membentuk image, karakter pemimpin, maupun kriteria yang paling diharapkan oleh masyarakat yang memilih sebagai pemimpin masa depan sebagai pembawa perubahan dan perbaikan pada masyarakat yang dipimpinnya. Ini merupakan brand image yang dibawa oleh mesin politik maupun sosialisasi calon kepala daerah yang di usung kepada masyarakat pemilih selain dari program maupun visi-misi yang dipaparkan, tetapi bukan jaminan pada pemilihan sang calon akan memenangkan kontestasi tersebut melainkan kesinambungan akan mesin politik yang kuat dalam bekerja dan calon yang di usung merupakan figur yang kredebelitasnya tidak diragukan dapat memimpin hingga terbentunya kepercayaan masyarakat terhadap calon kepala daerah yang dipercaya dan dipilihnya dapat memimpin pada masa mendatang.